Bekas Direktur Umum Bahasa Arab Jemaah Ahmadiyah Pusat Landon dalam bukunya, al-Ahmadiyah: Aqa’id wa Ahdats (1998), mengatakan, Persoalan Ahmadiyah tidak usah bikin ruwet umat Islam, tidak perlu dibesar-besarkan, dan tidak perlu sampai mengerahkan kekuatan fisik untuk membentak, mencaci atau menekannya. Kita (umat Islam) cukup dengan membeberkan kesesatannya dan mengajaknya kembali.
Pernyataan ini tentu tidak diragukan lagi, karena terlontar dari mulut orang yang pernah lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Ahmadiyah. Menurutnya, ini adalah cara yang bijak dalam menyikapi berkembangnya ajaran ‘menyimpang’ Jemaah Ahmadiyah di belahan dunia ini. Tak perlu ada kekerasan, selain memberikan penyadaran dan mengajak kembali ke dalam ajaran Islam yang benar.
Sayang, cara seperti itu tidak dimanfaatkan oleh umat Islam di Indonesia. Perhelatan tahunan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parung, Bogor (Jawa Barat) beberapa waktu lalu ternyata harus berakhir rusuh. Gabungan kelompok umat Islam yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Indonesia menggagalkan dengan paksa ajang silaturahmi tersebut. Tak ayal, korban materi dan fisik pun mewarnai aksi kekerasan terhadap organisasi Ahmadiyah.
Peristiwa ini bukanlah kali pertama. Pada September 2002 lalu, juga terjadi aksi penyerangan dan pembakaran terhadap tempat-tempat ibadah, rumah tinggal, kios dan toko-toko milik jamaah Ahmadiyah oleh kelompok masyarakat di Pancor Selong, Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Akibatnya, ratusan anggota jemaah Ahmadiyah pun kehilangan tempat aktivitas beribadah dan berniaga.
Sulit untuk mengetahui pasti apa motif aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok umat Islam terhadap jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Awalnya, upaya menghancurkan organisasi Ahmadiyah karena organisasi tersebut menganut ajaran yang menyimpang dari akidah Islam. Kemudian, muncul dugaan bahwa kebencian kalangan umat Islam dipicu oleh berbagai kegiatan Ahmadiyah yang sangat eksklusif dan tertutup, sehingga menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan di tengah masyarakat sekitar. Belakangan muncul kekhawatiran kalau kehadiran dan aktivitas Ahmadiyah terkait dengan upaya (misi) pendangkalan akidah dan penghancuran (syariat) Islam di Indonesia.
Tak pelak, api kebencian umat Islam Indonesia terhadap jemaah Ahmadiyah pun terus membara. Berbagai aksi dan intimidasi terus dilakukan. Klimaksnya, kelompok umat Islam secara ‘beringas’ berhasil menggagalkan kegiatan tahunan yang akan dilakukan jemaah Ahmadiyah di Parung Bogor. Bahkan, untuk melerainya, muncul Surat Pernyataan Bersama yang dibuat oleh Bupati, Ketua DPRD, Dandim, Kapolres, Kajari dan MUI Bogor untuk menutup kegiatan jemaah Ahmadiyah tersebut.
Di sini, masalah pun menjadi bias. Persoalan yang bermula dari pertentangan ajaran, mulai bergeser ke arah kecemburuan sosial dan politik (hukum). Belum tuntas persoalan klaim ‘kesesatan’ dalam diri jemaah Ahmadiyah didialogkan, masyarakat sudah menghakimi dengan berbagai aksi kekerasan. Bahkan, pemerintah pun telah menutup diri dan berlindung di balik fatwa MUI 1980 dan fatwa MUI Bogor tahun 2005 yang menganggap Ahmadiyah sebagai jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.
Klaim ‘teologis’ seperti itu mungkin tidak berlebihan. Mengingat, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia memang sangat terkait dengan sang pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani, yang memproklamirkan diri sebagai nabi sekaligus juru selamat akhir zaman (Imam Mahdi). Secara akidah, ajaran ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang murni. Maka, seiring dengan kelahirannya, aliran ini sudah dianggap sebagai aliran sesat dan terus dihujat oleh umat Islam dunia.
Tetapi, aksi kekerasan yang dilakukan massa atau kelompok umat Islam terhadap jemaah Ahmadiyah bagaimanapun tidak bisa dibenarkan. Tindakan tersebut jelas merupakan suatu pelanggaran hak-hak warga negara dan menciderai tatanan hukum di Indonesia. Artinya, jemaah Ahmadiyah memiliki hak untuk dilindungi secara hukum, sekaligus hak hukum untuk menyelesaikan atau menuntut setiap pelanggaran yang menimpa mereka. Ini adalah jaminan konstitusi dan bentuk perlindungan hukum dan keadilan yang tidak bisa dirampas oleh siapa pun.
Selain melanggar hukum, tindakan anarkis tersebut pada dasarnya telah mencoreng martabat umat dan citra Islam itu sendiri sebagai agama rahmat, agama cinta dan agama damai. Aksi massa ini secara tidak langsung juga menunjukkan betapa pemahaman keagamaan kita seringkali tidak didialogkan lewat budaya dan peradaban bangsa. Dalam hal ini, ajaran amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai manifestasi kontrol sosial masyarakat tidak mengalami kesinambungan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, doktrin ‘mengajak kepada yang baik (benar) dan mencegah dari kemungkaran’ oleh umat Islam tidak dikomunikasikan secara kekeluargaan sebagaimana budaya masyarakat Indonesia.
Sejatinya, umat Islam tidak perlu bersikap antipati, mudah tersinggung dan bereaksi terlalu keras terhadap perbedaan pemahaman keagamaan. Pendekatan reaktif ataupun represif yang dilakukan dalam berdakwah tidaklah selalu menjanjikan ‘kemenangan’. Tindakan seperti itu mengutip istilah Muhammad Shahrur (1994) hanya akan menyebabkan terjadinya tirani keberagamaan, baik pemikiran, pengetahuan ataupun sosial di tengah kehidupan masyarakat kita. Selain tidak menyentuh akar persoalan, bukan tidak mungkin, tindakan itu sekadar menimbulkan perpecahan dan kerusakan, sekaligus menimbulkan semangat ‘membela diri’ di kalangan jemaah yang ditekan.
Pengalaman telah membuktikan, banyak jemaah yang sebelumnya sempat bertaubat dan ingin kembali ke ajaran Islam semula, justru balik lagi ke aliran (Ahmadiyah) yang dianggap masyarakat luas sebagai aliran sesat. Bahkan, banyak jemaah yang justru semakin yakin dengan ajaran yang dipahaminya sekarang ini. Alhasil, bukan alirannya hilang atau jemaahnya sadar, tapi sebaliknya kian berkembang dan memiliki militansi di kalangan pengikutnya.
Padahal, dalam beberapa kasus di luar negeri, sebagaimana pengalaman Hasan bin Mahmud Audah, banyak jemaah Ahmadiyah yang akhirnya kembali ke ajaran Islam setelah melakukan berbagai dialog dengan umat Islam. Artinya, konsep amar ma’ruf dan nahi munkar dalam konteks saat ini haruslah dikomunikasikan secara dialogis. Kita harus menampilkan secara tegas identitas keagamaan yang damai, penuh cinta kasih dan membebaskan. Bila perlu, konsep fastabiq al-khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) dimaknai tidak hanya mengajak berbuat baik di kalangan sendiri, tapi sekaligus memberikan kebaikan kepada mereka yang berbeda paham untuk kembali kepada ajaran Islam secara damai dan penuh kesadaran.
Di sinilah pentingnya kontrol sosial keagamaan secara dialogis ataupun dakwah bi al-hal (sikap keteladanan) dengan memperhatikan budaya dan keragaman masyarakat yang ada. Tentunya, strategi dakwah ataupun dialog-dialog agama yang terbuka dan bijaksana seperti itu sangat relevan dan bisa menjadi model ideal bagi perkembangan kehidupan agama-agama di masa depan. Inilah keinginan kita bersama bahwa agama (Islam) harus dipahami sebagai institusi yang bisa melahirkan kedamaian, kasih sayang dan kepuasan dalam menghadapi berbagai persoalan saat ini. Wa Allahu A’lam