Berbicara tentang nama AHMAD dalam surat Ash-Shaf ayat 6,
dimana tersirat di dalamnya ucapan Nabi Isa a.s. yang
menyampaikan kabar gembira (mubasysyiran) tentang datangnya
seorang Nabi di kemudianku (mim ba'di ismuhu) yang bernama
AHMAD, tidak lain yang dituju dari ucapan beliau a.s. itu,
adalah Nabi Muhammad s.a.w.
Ucapan Nabi Isa a.s. dengan kata-kata "di kemudianku" itu,
tidak akan meloncati seorang Nabi yang benar-benar datang
tepat sesudah dirinya. Lebih-lebih lagi, dan inilah yang
harus menjadi perhatian, bahwa Al-Qur'an adalah Kalam Allah
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dengan demikian
beliaulah orang pertama yang mengetahui akan makna tujuan
serta seluruh yang tersirat dalam ayat-ayat Allah. Dengan
kata lain, Nabi Muhammad Pesuruh Allah yang menyampaikan
kabar gembira dan kabar takut (basyiiran wa nadziiran) pada
ummat manusia, tidak akan menyembunyikan sesuatu kabar dari
Allah seperti yang tersurat dalam Al-Qur'an surah Ash-Shaf
ayat 6 itu.
Jika itu memang ditujukan pada seorang AHMAD dari INDIA dari
desa QADIAN, maka Nabi Muhammad s.a.w. pasti mensabdakannya.
Juga para sahabat Nabi, para Tabiiin maupun yang sesudahnya
akan menyebut "milik siapa Ahmad" pada surah Ash-Shaf itu.
Padahal Nabi tidak menyabdakan, tidak juga para sahabat
maupun Tabi'in.
Jelaslah kiranya bahwa cara-cara yang dipakai Mirza Ghulam
dan Ahmadiyahnya, mencapai konklusi yang terang di sini,
bahwa aliran Qadiani dan pendirinya itu telah melakukan
penghinaan yang terang-terangan terhadap Nabi Muhammad
s.a.w.
Mereka sebenarnya telah menyepelekan tugas suci yang dipikul
Nabi Muhammad, menerima kebenaran, menyampaikan serta
menegakkan kebenaran itu. Tingkah laku maupun cara-cara yang
demikian itulah yang paling disebar-sebarkan Ahmadiyah dalam
kitab-kitab mereka.
Yang haq atas nama AHMAD dalam surat Ash-Shaf ayat 6 itu,
ialah seorang yang menerima wahyu itu sendiri, AHMAD
MUHAMMAD s.a.w. Ribuan tahun sebelum beliau s.a.w. memangku
jabatan Rasul dan Nabi yaitu tatkala Nabi Musa a.s diutus
oleh Allah untuk bani Israil, tersebut dalam sebuah do'anya;
beliau a.s. memohon:
"Ya Allah jadikanlah hamba sebagai pengikut AHMAD."1
Kemudian sahabat Salman Al-Farisi tatkala berada di Baitul
Maqdis, beliau mendengar dari seorang rahib, yang berkata
padanya:
"Wahai Salman, sesungguhnya Tuhan sedang mengutus
seorang Rasul bernama AHMAD. Ia mau makan dari
pemberian hadiah, akan tetapi ia menolak atas pemberian
sedekah. Di antara pundaknya terdapat tanda dari
khataman Nubuwah. Ketahuilah wahai Salman, bahwa
saat-saat sekarang inilah kedatangannya."2
Dan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik,
Dharimi, Tirmidzi, An-Nasa'i, Bukhari dan Muslim, dari Jabir
ibn Muth'am, beliau s.a.w. bersabda:
"Padaku ada beberapa nama-nama, Aku bernama Muhammad,
aku bernama AHMAD, Al-Mahi (yang menghapuskan)
kekafiran, Al-Hasyir (yang mengumpulkan) ummat dibawah
naunganku, dan Al-Aghib (yang penghabisan) dimana tidak
ada Nabi sesudahku."
Demikianlah tentang nama Ahmad dalam surah Ash-Shaf ayat 6.
Adapun yang dipakai alasan oleh Mirza Ghulam Ahmad dan
Ahmadiyahnya, baik Hadits maupun Al-Qur'an, hanyalah suatu
penipuan belaka. Tidak sepotong ayatpun dalam Al-Qur'an yang
menyebut-nyebut nama Mirza Ghulam. Juga tidak sehuah Hadits.
Jika memang ada, maka Mirza Ghulam dan Ahmadiyahlah yang
mengada-adakan. Bahkan andaikata ada sebuah nama Ahmad
kiriman Tuhan yang ditujukan pada Mirza Ghulam, maka itu
adalah kiriman yang datang dari Tuhannya Mirza. Sebab ia
rupa-rupanya memiliki Tuhan yang khas yang hanya menjadi
miliknya. Kelak akan dijumpai dalam beberapa kitab-kitab
Ahmadiyah, Tuhan khas milik Mirza Ghulam itu.
Catatan kaki:
1 lih. Abul-Qasim as-Suhaily, ar-Raudul Unuf,
1332/1914, Marokko Sultanul Maghrib, hal. 106:
(Allahummaj 'alni min ummati Ahmad).
2 lih. dr. Abdul-Aziz Muhammad Azzam, Muhammad Rasul-ul
A'zham, 1394/ 1974, majlis a'lalisy-syuun al-Islamiyah,
Cairo, hal. 24.