Selamat Datang Di Milis Resmi Saya Semoga Bermanfaat Bagi Kita Semua Hablun Minallah Wa Hablun Minannas Setiap Langkah Harus Dengan Arti, Setiap Langkah Harus Dengan Pikiran, Sebelum Melakukan Harus Hati-Hati, Kalau Jelas Itu Jelek/Buruk Dijauhi

Karnaval Raja Cebol

Humor dan politik kerap sekilas memang tidak berdomain sama. Yang pertama memang sekedar untuk lucu-lucuan, lainnya harus serius. Tapi di negara yang aspirasi politik masyarakatnya ditindas, humor ternyata tumbuh menjadi medium aspirasi yang tak kalah hebatnya dibandingkan dengan orasi para politisi.



SATU singgasana berdiri kokoh dan angkuh sebagai focus of interest pada landskap sebuah balairung istana berarsitektur Jawa. Di atasnya, tampak seorang raja cebol tengah melonjak-lonjak kegirangan. Tangan kanannya yang terkepal ditekuk seperti hendak melontarkan hook. Kaki kanannya pun ikut ditekuk, hingga hampir bersinggungan dengan tangan. Lalu berteriak, "Yes!" tatkala hulubalang raja yang tambun, berpipi gembil dan berhidung jambu bangkok —tentu saja dengan logat bicara agak cadel— mengumumkan bahwa si cebol itu dipilih kembali menjadi unggulan dalam pemilihan raja yang akan datang. Mirip polah bocah nakal sekaligus cerdas yang diperankan Maculay Culkin dalam sekuel Home Alone setiap kali ia berhasil menjahili para penjahat yang ingin menyatroni rumahnya.

Sketsa peristiwa di atas cukup membuat sesimpul senyum di bibir Anda? Lucu? Mungkin. Tertawa memang bukan jaminan bagi mereka yang membayangkannya, tetapi senyuman adalah kepastian.

Kalau masih juga belum tersenyum, coba bayangkan sketsa yang satu ini Di salah satu sudut lainnya digambarkan ada seseorang —agaknya seorang simpatisan organisasi peserta pemilu (OPP)— yang tengah kebingungan mencuci banyak kaos yang ia dapat pada Pemilu kali ini. Dulu ia cuma mencuci dan menjemur tiga kaos. Sekarang ia terpaksa harus mencuci 48 kaos. Ada yang tersenyum, ada pula yang mengernyitkan dahi. Kaum yang terakhir pastilah mereka yang kena sindir atau disikut kepentingannya.

Bukan. Itu bukan satu adegan ketoprak humor-nya Timbul dan kawan-kawan yang biasa Anda saksikan setiap akhir pekan di layar teve.

Ini, kata Pramono, ketua panitia penyelenggara pagelaran "Kartun Untuk Demokrasi" dalam sambutannya, cuma cermin defraktif masyarakat Indonesia menyambut Pemilu 1999. Medianya pun hanya lembaran-lembaran yang dilukisi karakter tokoh yang dikartunkan. Tokoh-tokoh itu kadang punya nama, kadang tidak. Pokoknya, tergantung si kartunis. Tak jarang, ada punya yang merasa perlu menggambar jelas muka si tokoh (tentunya pejabat atau minimal pengusaha teras atas) tapi badan ke bawah tetap saja dilukis serba kartun alias kate-kate montok.

Tapi pagelaran itu kalah dahsyat dalam urusan defraktif dengan apa yang ditampilkan Teater Sastra Universitas Indonesia dengan mengundang pula Butet Kertaradjasa. Tiga orang didudukkan bersama di atas satu panggung. Didandani agar mirip dengan Gus Dur, Amien Rais, dan mantan presiden Soeharto. Lalu, masing-masing aktor berujar dan bermimik sama persis melantunkan orasi-orasi politik atau falsafah Jawa, tentu saja dengan sejumlah improvisasi alias plesetan untuk beberapa bagian. Lucu? Sudah pasti. Berdimensi politik? Itu terserah penafsiran masing-masing.

Terakhir, yang pantas juga dinilai mempunyai urusan defraktif adalah lakon "Hikayat Jendral Bintang Lima Tukang Ngeboat" yang dimainkan oleh aktor tunggal, Agus Nur Amal, dari Teater Rakyat Pmtoh. Bermain di lapangan belakang kampus Institut Kesenian Jakarta, diperlengkapi dengan segudang properti yang disiapkannya sendiri, ia bertutur tentang kisahan benda-benda yang ingin merdeka, ingin terbebas dari manusia yang menyiksanya.

Sembari mulutnya bercerita, tangannya sibuk menggerakkan seterika, kipas angin, dan sepatu lars tentara seakan mereka berkarakter dan oleh karenanya punya kehendak. Kadang-kadang ia mengayun-ayunkan selendang berwarna kuning di atas kepalanya lalu memutar-mutar. Seketika tubuhnya meliuk, mulutnya menirukan suara helikopter dan selendang itu menjelma menjadi baling-baling rotor helikopter. Terbang? Tentu saja tidak, tapi penonton sudah terlanjur berilusi Agus terbang naik helikopter. Kali lain, seterika maju-mundur sambil berteriak "Revolusi, revolusi, revolusi sampai mati" empat kali berturut-turut; mula-mula pelan, mengeras, makin keras, lalu lirih. Kemudian ilusi itu makin menggila tatkala seterika bermain selancar di atas gelombang besar yang bernama krisis, atau tatkala seterika dilindas tank tentara (yang dibuat dari gabus). Ilusi-ilusi dan cerita-cerita itu dibungkus dalam segala tindak-tanduk yang mengundang tawa, sekaligus menawarkan renungan defraktif terhadap penonton.

Simak saja bagaimana Agus membuka pertunjukkannya di malam purnama itu. "Seterika meraung dipanasi/Sepatu menjerit diinjaki/Kolor muntah dibaui/Kursi menangis diduduki/Tak tahan lagi dikerasi oleh manusia/Benda-benda menuntut merdeka/Benda-benda ingin jadi manusia," demikian katanya. Seterika dan sepatu lars bosan dijadikan alat penyiksa. Pada penonton, benda-benda itu berujar, "Kami bosan menjadi penyiksa. Hanya manusia-lah yang menyiksa sesamanya, karena kami tidak pernah melakukan hal itu. Tapi mereka menggunakan kita karena tak ingin mengotori tangannya sendiri."

Ketiga pagelaran kesenian yang belakangan digelar di Indonesia ini amat menarik untuk dicermati. Dari ketiganya, ternyata muncul upaya serius untuk mematahkan takhyul kesenian yang selama Orde Baru ditabukan. Takhyul itu dipatahkan dengan suatu upaya sistematis oleh para seniman —atau harus disebut humoris profesional— untuk menarik persoalan sosio-politik yang rumit, serius, penuh kekejaman, kotor ke dalam wilayah jelajah kemanusiaan yang irasional, simpliistis, kocak, jujur, terang-terangan yakni: humor. Cara kerja mereka memang mirip-mirip provokator yang memanfaatkan rumor alias desas-desus. Hanya saja output kerja provokator pastilah sesuatu yang destruktif, sedang yang dilakukan secara sistematis oleh para humoris profesional ini jelas teramat tidak destruktif (kecuali buat mereka yang lemah jantung).

Dikatakan sistematis, karena ada faktor kesengajaan yang berperan di sana. Faktor itu adalah keinginan untuk mencari dimensi atau sudut lain bagaimana mencerna realitas sosio-politis yang tak melulu hasilnya harus berupa analisis, proyeksi, prediksi, kertas kerja, laporan berjalan tentang apa yang terjadi. Sudut yang ditawarkan itu adalah perspektif yang manusiawi pula karena menyinggung syaraf gelitik manusia yang dibangkitkan dengan visualisasi obyek baik ke dalam media dua dimensi, audio, hingga ilusif atau khayali.

Mata, telinga, dan daya khayali yang dimiliki manusia sama-sama diyakini mampu membentuk obyek penafsiran tentang apa yang terjadi bahkan tentang apa yang akan terjadi, sama jelasnya ketika manusia menggunakan rasionalitasnya. Mengapa bisa? Ketika seseorang mencoba menganalisis peristiwa sosio-politis dengan kemampuan rasionalnya, ia membentuk obyek penafsiran berdasarkan alasan-alasan logis. Namun ia tak bisa membentuk penafsiran terhadap sejuta kemungkinan yang mungkin juga terjadi di keesokan hari. Tetapi pemahaman realitas dengan memaknai aspek irasionalitas ternyata membuka kekakuan kemungkinan itu dan membolehkan manusia merumuskan sendiri obyek yang ada sesuai dengan penafsiran yang dikehendakinya.

Oleh karenanya bisa saja terjadi Habibie yang berasal dari Sulawesi itu dilukis berada dalam konteks kepemimpinan tertinggi di Jawa dan tampil berbusana raja lengkap dengan beskap dan keris di pinggang, tapi bertingkah kekanak-kanakan dan nakal —jauh di luar bayangan rasionalitas bahwa raja itu harus elegan, harus matang— oleh Dwi Koendoro, kartunis harian Kompas. Segala pakem tentang apa yang harus dari sisi rasio dijahili dan tetap sahih, asal saja ada alasan yang mendasari proses kreasinya itu. Dan kalaupun ia tak menjelaskannya secara eksplisit, umumnya para penyimak mengetahui bahwa Dwi Koen —demikian ia biasa disebut— sebenarnya menggambarkan realitas sosio-politis bahwa asal-usul Habibie tak sanggup mengubah corak kepemimpinan feodal, otoritarian Jawa yang diwarisi dari Soeharto. Bila direnungkan lebih dalam, bisa saja mencuat pertanyaan semacam "apakah ini merupakan cermin defraksi dari tenggelamnya dan terjajahnya kebudayaan non-Jawa karena dominasi kebudayaan Jawa." Nah, akhir-akhirnya bisa saja menjadi pertanyaan lugas yang rasional juga ‘kan?

Terlebih lagi untuk sampai ke soal yang lugas lagi rasional itu, humor dapat dijadikan jembatan pertama pembuka komunikasi. Kalau orang sudah tersenyum, lebih mudah untuk mulai membuka pembicaraan.

Kemampuan para seniman untuk mejahili humor di dalam dunia politik sebenarnya bukan suatu hal yang spektakuler dari sisi kesenian. Proses kesenian ini memang baru mendapatkan tempatnya di Indonesia di masa kini, tetapi kemunculannya telah dirintis sejak lama. Apalagi proses kreasi serupa bisa dilihat dari beberapa proses berkesenian yang ada di luar negeri. Lihat saja bagaimana kartunis Amerika melukiskan realitas sosio-politis tatkala perselisihan antara Partai Demokrat (yang digambarkan sebagai keledai) dan Partai Republik (yang digambarkan dengan banteng) terjadi. Atau tatkala Clinton dilanda kasus "zippergate". Perancis pun mengenal kesenian hikayat yang ditampilkan lewat teater boneka Guignol yang tak kurang defraktifnya menggambarkan kehidupan sosio-politis masyarakat Perancis. Rusia pun mengenal seribu satu humor mengenai para pemimpin politik mereka: mulai dari Tsar, Lenin, Stalin, Gorbachev hingga Boris Yeltsin.

Hanya saja yang menjadi pertanyaan di sini: sejauhmana seorang humoris profesional yang menggulirkan isu-isu sosio-politisnya dapat mempertanggungjawabkan kegiatannya? Memang, menjahili politik dengan humor bisa saja terjebak jadi sekedar keisengan belaka. Itu pula yang ditegaskan oleh Pramono dengan memberi wejangan, "Tidak semua orang senang digurui. Sebaiknya pesan disampaikan tanpa sikap mengajari, agar pelihat tak merasa dipojokkan dalam posisi yang lebih bodoh."

Kalaupun ada yang usil mau tanya kira-kira bagaimana cara para seniman mempertanggungjawabkan karya seninya, barangkali jawab mereka sekena-kenanya, "Ya, kalau nggak ketawa, gue tonjok loe!" sambil terkekeh-kekeh. Semoga saja tidak.