"Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama (Islam), fitrah (agama)
Allah yang telah Dia ciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan bagi
ciptaan Allah. Itulah agama Yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. Dalam keadaan kembali kepadaNya dan bertakwalah kepada-Nya
serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik,
(yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka dan Jadilah mereka
beberapa golongan; tiap-tiap golongan bangga dengan apa apa yang ada pada
mereka. (QS. 30: 30-32)
Dalam khutbah menyambut Ramadhan Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa
pada bulan ini menyambungkan persudaraan, maka Allah akan menyambungkan
rahmat-Nya pada saat menemui-Nya.
Barangsiapa pada bulan ini memutuskan tali persaudaraan, maka Allah akan
memutuskan rahmat-Nya dari padanya pada saat berjumpa dengan-Nya.
Barapgsiapa dengan sukarela mengadakan silaturrahmi, maka Allah akan
menetapkan atasnya pembebasan dari neraka."
Zoon Politicon sebagai idiom yang pernah dilekatkan oleh Aristoteles
kepada manusia terpampang jelas di hadapan kita. Babakan-babakan sejarah
yang menyertai manusia selalu bergerak mengikuti perannya sebagai makhluk
komunal. Sebagai makhluk yang saling bergantung, manusia diantarkan untuk
bekerjasama dalam hubungan sosial yang lebih luas, yang akan berpengaruh
ke dalam pranata-pranata sosial dan budaya.
Kehidupan sosial-faktor yang paling berpengaruh dalam perkembangan watak
manusia-tidak dapat dibatasi hanya pada entitas material saja, melainkan
oleh hasil dari suatu persatuan antarjiwa. Pada posisi inilah umat manusia
mempunyai kesamaan.
Tetapi, setiap kesamaan tidak selanjutnya melahirkan kesepakatan yang
baik. Ini sangat ditentukan seberapa tulus dan ikhlasnya kesepakatan yang
diambil. Kita sering melihat kesepakatan dan kompromi politik dan ekonomi
yang terjadi di mana-mana berakhir dengan pengkhianatan. Bahkan menjurus
pada perpecahan dan penghancuran.
Dalam diri manusia unsur-unsur materi dan spiritual mempengaruhi kualitas
insaniah. Jika nilai-nilai ini dicabut dari manusia, ia akan terperosok ke
dalam derajat kehewanan. Insaniah manusia tidak akan terwujud hanya dengan
konstruksi tubuhnya yang lengkap sebagaimana anggota badan. Sufi besar
Sa'di berkata:
Badan manusia mulia karena ruhnya Tubuh yang indah bukanlah tanda
kemanusiaan
Jika manusia itu (disebut) manusia Karena mata, telinga atau lidahnya Maka
apa bedanya antara manusia dan gambar manusia di dinding
Kalau manusia di ukur dari konstruksi tubuhnya, maka semua yang dilahirkan
oleh seorang ibu dapat disebut manusia. Namun, hal ini tidak tepat.
Sesungguhnya, insaniah manusia diukur oleh serangkaian sifat dan etika
tertentu yang karenanya la disebut “manusia”. Semua hal yang dapat
meninggikan derajat dan kepribadian manusia inilah yang dinamakan
“nilai-nilai insni”. Setiap manusia yang mengingkari makna-makna
kemanusiaan akan mengalami kejatuhan martabatnya.
Pada wilayah kemanusiaan ada dua bentuk penyelewengan yang mungkin
dilakukan oleh individu atau masyarakat. Pertama,
penyelewengan-penyelewengan yang berbentuk penentangan terhadap
nilai-nilai atau norma-norma insani, seperti kezaliman vis-a-vis keadilan,
penindasan dan penjajahan vis-a-vis kemerdekaan, tidak bertuhan dan tidak
terikat pada nilai-nilai insani vis-a-vis kebertuhanan dan keterikatan
pada nilai-nilai tertentu, kejahilan dan kebodohan vis-a-vis akal, ilmu
dan hikmah.
Kedua, penyelewengan yang terjadi bukan berupa pertentangan antar
anti-nilai dengan nilai, namun antara nilai-nilai itu sendiri. Seperti
kezuhudan-yang sebenarnya merupakan salah satu nilai insaniah manusia-yang
kemudian tenggelam hanya pada keadaan itu saja tanpa menghiraukan tanggung
jawab sosialnya. Itu juga penyelewengan.
Wujud kemanusiaan ditentukan oleh besarnya tanggung jawab sosial keagamaan
sebagai mandataris Allah di muka bumi. Muhammad Baqir al-Shadr ketika
menafsirkan surat al-Baqarah ayat 30, "Dan ingatlah ketika Tuhanmu
menyampaikan kepada para Malaikat, Aku akan menciptakan Khalifah di muka
bumi..." mengatakan frase ayat ini mengandungi empat kata yang penting:
Rabb, alam, manusia dan khalifah. Rabb adalah pemberi amanah, Alam tempat
turunnya amanah, dan manusia penerima amanah, khalifah adalah konsekwensi
penerimaan perwakilan dari Tuhan.
Tugas penerima amanah melakukan harmonisasi hubungan kemanusiaan antara
manusia dengan manusia dan manusia dengan alam di atas hukum-hukum pemberi
amanah. Kalau kemudian tugas ini terejawantahkan oleh penerima amanah
maka gelar khalifah dapat disandangkan kepadanya.
Jadi seorang khalifah Allah di muka bumi adalah mereka yang mampu
melakukan dan menciptakan hubungan kemanusiaan dan hubungan kealaman
secara harmonis di atas prinsip hukum-hukum Tuhan.
Sayang, perilaku kita sehari-hari tidak konsisten terhadap nilai kebijakan
Tuhan. Mulai dari pranata sosial yang lebih rendah sampai pada kehidupan
yang lebih kompleks lagi. Hampir di semua lini kehidupan, kita tidak
menemukan adanya upaya sinergis antarsesama manusia untuk mengembalikan
manusia pada cahaya fitrahnya. Yang ada adalah kebohongan publik yang
semakin transparan dilakukan oleh setiap kalangan.
Pertanyaan para malaikat terhadap Tuhan pada waktu rencana penciptaan Adam
boleh jadi sebagiannya terbukti. Kita lihat pertarungan kehendak hewani
yang dipenuhi gejolak syahwat dengan kebenaran fitri yang bertumpu pada
hati nurani menghiasi hampir seluruh berita. Setiap golongan, kelompok,
sekte, dan partai-partai merasa benar sendiri dan tidak mengindahkan
kelompok lainnya. Sejumlah pecundang (kaum hipokrit) bermain dalam setiap
relasi konflik. Sadar atau tidak, kita telah menjadi bagian dari pelaku
kemusyrikan.
Setiap manusia yang ingin mendapatkan kehormatan di sisi para malaikat dan
di hadapan Allah SWT sedapat mungkin harus memiliki kualitas kemanusiaan.
Betapa tidak manusia harus mempertaruhkan kebijakan Allah dalam proses
penciptaannya di hadapan parlemen malaikat.
Kembali ke fitrah berarti kembalinya manusia kepada paradigma
penciptaannya sebagai pemegang amanah ketuhanan di muka bumi. Fitrah yang
di dalamnya unsur-unsur Rububiyyah Ilahiyyah bersemayam. Unsur yang
mengandung cita rasa kemanusiaan, cinta kasih dan pengorbanan menuju
kepada kebaikan. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Tidak menjadi:
bagian dari golongan ku orang-orang yang mengaku Islam tapi tidak memliki
kepekaan, perhatian, dan konsern terhadap sesamanya manusia.”