PERISTIWA PERISTIWA DRAMATIS YANG TAK TERLUPAKAN
Kebanyakan penulis-penulis Inggris menyatakan bahwa kaum
Musliminlah yang mencetuskan revolusi tahun 1857 itu.286 Dan
Pemerintah Inggris sendiri telah memperingatkan bahwa
pemberontakan 1857 diorganisir oleh ummat Islam.1 Kemudian
Sir William Hunter menulis:
"Dalam-perang besar tahun 1857 itu, hanya ummat
Islamlah yang berhadapan dengan Inggris. Oleh karenanya
hanya - merekalah yang mengalami malapetaka."2
Tidak salah lagi jika korban terbesar akan dibebankan pada
ummat ini. Bayangan kematian tampak di mana-mana, maut
begitu mudahnya menyambar sehingga jalan-jalan besar penuh
dengan mayat-mayat, termasuk kaum wanita dan anak-anak.
Inggris telah melakukan pembantaian secara besar-besaran.
Diantara mereka yang menjadi saksi mata dalam peristiwa
berdarah itu, terdapat dua orang Pujangga besar Islam yaitu
Sayid Ahmad Khan dan Mirza Asadullah Khan Ghalib. Mereka
berdua tidak mungkin melupakan malapetaka yang menimpa
saudara-saudaranya. Ghalib sendiri telah kehilangan
saudaranya serta sahabat-sahabatnya yang terdekat, tewas
diatas tiang gantungan yang disediakan oleh Inggris buat
ummat Islam. Beliau menulis:
"Delhi, aku saksikan menjadi lautan darah, hanya
Tuhanlah yang mengetahui apa yang masih ada padaku.
Ribuan sahabatku telah meninggal, siapa lagi yang akan
kuingat, dan pada siapa aku harus mengadu?
Segala-galanya telah lenyap dan tidak seorangpun akan
menangisi kematianku.
Di kota Dastambu, hanya Tuhanlah yang menjadi saksi berapa
jumlah manusia yang mati digantung. Mereka orang-orang kulit
putih itu memasuki kota dengan membinasakan siapa saja yang
mereka temui."
"Dalam Dastani Gadar, Zahir Dehvi menulis: Tentara
Inggris menembak siapa saja yang mereka jumpai. Mian
Muhammad Amin Panjakush seorang penulis kenamaan,
Meulvi Buksh Sabhin seorang Ulama bersama dua orang
puteranya, Miar Niaz Ali dan sejumlah 1400 orang
penduduk Kucha Chelan telah ditangkap oleh Inggris
kemudian digiring ke pintu gerbang Raj Ghat. Disitulah
mereka ditembak mati dan mayat-mayat mereka dilemparkan
kesungai Jamuna."3
Tatkala Jenderal Wilson memasuki kota Delhi, anak buahnya
menembak secara membabi buta. Bersama-sama dengan pasukan
India yang menjadi tentara sewaan Inggris mereka melakukan
pembalasan dendam di luar batas kemanusiaan. Pada tanggal 21
September seorang peninjau bangsa Inggris bernama Griffiths
menyaksikan suasana kota sunyi sepi. Suatu bencana yang
mengerikan telah terjadi. Sungguh sulit untuk dilupakan
bahwa tempat-lempat itu pada mulanya merupakan lalu-lintas
orang-orang ramai. Tetapi kini ditinggalkan dan tidak
terdengar suara apapun, hanya suara-suara burung di angkasa
berputar-putar di atas tumpukan-tumpukan mayat yang
bergelimpangan di segala penjuru. Setiap orang yang liwat di
situ akan sesak dada, nafas terasa tersumbat.4
Tentara Inggris melakukan apa saja untuk memuaskan hawa
nafsunya. Banyak kaum Muslimin digantung mati tanpa alasan
apapun. Bahkan perbuatan mereka yang tiada taranya,
mendekatkan mulut-mulut kanon pada kaum Muslimin dan
meledakkan tubuh-tubuh yang tiada berdaya itu.5
Pada waktu itu juga, yakni pada tanggal 21 September 1857,
raja Delhi Bahadur Shah menyerah kalah pada jenderal Hudson
kepala pasukan gabungan Inggris India. Raja Bahadur kemudian
diperlakukan bagai seorang kriminil. Orang-orang Inggris
baik laki-laki maupun wanita dapat saja mengejek dan
menghina sesuka hati mereka. Griffiths seorang peninjau
Inggris, pada tanggal 22 September itu melihat raja Bahadur
sedang duduk di atas sehelai cerpai tanpa sepatah katapun
keluar dari mulutnya. Dalam keadaan membisu itu beliau duduk
di sana siang dan malam, pandangannya jatuh ke bawah. Di
kanan-kiri beliau berdiri tegak dua orang tentara Inggris
dertgan bayonet terhunus. Kedua orang tentara itu telah
mendapat perintah untuk menembak dari tempat apabila sang
raja bermaksud melarikan diri.6
Demikian nasib yang menimpa kota Delhi, raja, dan rakyat
Muslimin. Pasukan Jendral Wilson bersama-sama pasukan
gabungan Inggris India di bawah jenderal Hudson telah
melakukan pembantaian di seluruh kota tanpa ampun.
Selang beberapa bulan kemudian revolusi kemerdekaan itu
dapat dilumpuhkan, dipatahkan dan sekaligus dipadamkan
dengan tangan besi tyran Inggris. Namun demikian situasinya
tidak berhenti sampai disitu: penderitaan kaum muslimin
masih berlangsung terus. Pengejaran yang teratur seperti
terjadi di Bengal, Trimughat dan di daerah-daerah lainnya
diulangi setelah lama pembrontakan itu dipadamkan. Di
seluruh negeri terdapat penggantungan kaum muslimin secara
besar-besaran. Harta mereka disita, rumah-rumah mereka
dibongkar dan hak milik mereka dijual pada orang-orang
Hindu.
Kesengsaraan dan rasa putus-harapan merayap hampir ke
seluruh tubuh Islam. Tusukan tombak lnggris dan sekaligus
cengkeraman orang-orang India yang disewa telah melukai
tubuh Islam begitu dalam, padahal luka-luka yang sebelumnya
yang dibuat kaum Sikh masih menguak bernanah. Thompson dan
Garrat menulis:
"Tentara Inggris telah melakukan penghinaan yang keji
dan pembunuhan yang paling kejam. Mereka telah menyemir
tubuh kaum Muslimin dengan lemak babi, kemudian
menutupi tubuh mereka itu dengan kulit babi. Dan
memberi kesempatan leluasa pada kaum Hindu untuk ikut
mencemarkan tubuh Muslimin itu dengan kotoran-kotoran
najis kemudian akhirnya tubuh-tubuh yang tidak berdaya
itu dibakar hidup-hidup."7
Inggris telah mengumumkan keputusannya untuk menghancurkan
segala unsur-unsur kehidupan kaum Muslimin sampai ke
akar-akarnya. Dari situasi yang drastis ini kaum Muslimin
yang tersisa, tidak ada jalan lain kecuali taat patuh pada
pemerintahan Inggris demi kelangsungan hidup mereka dan
generasi-generasi sesudah mereka.8
Catatan kaki:
1 idem - no. 5: hal. 25: (The british were repeatedly
reminded that it was the Muslims who organised the
great rebellion).
2 I.H. Qureishi, A Short History of Pakistan, 1967,
University of Karachi, hal. 131 (The British rulers
also attributed the war of 1857 to the Muslim alone.
That is why the muslims were visited with a terrible
revenge).
3 DR. Surendra Nath Sen's 1857, The Great Raising of
1857, Delhi The Publication Division, 1958, hal. 32.
(Ghalib, the famous Urdu poet who was in Delhi at the
time mounfully writes: here there is a vast ocean of
blood before me, GOD alone knows what more I have still
to behold. Thousands of my friends died. Whom should I
remember and to whom should I complain? Perhaps none is
left even toshed tears on my death. And again in
Dastambu: GOD alone know the number of persons who were
hanged. The white men on their entry started killing
helpless and innocent persons. Zahir Dehivi in his
Dastan-i-Ghadar. The English soldiers shot down
whosover they met on the way. Mian Muhammad Amin
Panjakush an excellent writer, Moulvi Imam Buksh Sabhin
along with two sons, Miar Niaz Ali and the persons of
Kucha Chelan 1400 in number were arrested and taken to
Raj Ghat Gate. They were shot dead and their dead
bodies were thrown into the Jamuna).
4 idem no. 8, hal. 31: (General Wilson had strictly
forbidden violence against women and children. But
where is soldiers who obeys the dictates of mercy at
the moment of victory? The city was sacked and people
were indiscriminately butchered by British soldiers who
thirsted for vengeance as well as by Indian
mercenaries. On September 21, Griffiths, an English
Observer who has recorded the scene, found the street
deserted and silent. Dead bodies of sepoys and city
inhabitants lay scattered in every direction, poisoning
the air for many days and raising astench which was
unbearable).
5 Beatrice Pitney Lamb, India a world in transition,
hal. 66 (the british suppression of the revolt was
fully barbaric many Indians were hanged for no reason
other than the fact; some Indians were even shot from
the mouths of cannons.)
6 Syed Sharifuddin Pirzada, Evolution of Pakistan,
Lahore The All Pakistan Legal Decision, hal. 17, 1963:
(On the 21st. September 1857, Bahadur Shah surrendered
to Hudson. The Emperor was treated like a vile
criminal. He was miserably lodged and every Englishmen
or women who passed through Delhi could at his or
pleasure in trude on his privacy without the least
pretence of leave to cast scornful glance at him.
Griffiths who saw him on the 22nd. September writes,"
Sitting cross-legged on a cushion placed on a common
native charpon or bed ... not a word came from his
lips, in silence he sat day and night, with his eyes
cast on the ground, .. while two stalwart European
sentries, with fixed bayonets stood on either sides.
They orders given were that on any attempt at a rescue
the officeer was immediately to shoot the King with his
own hand.")
7 I.H. Qureishi, A Short History of Pakistan, hal. 131:
(The English soldiers smeared the bodies of the muslims
with pig fat and sewed them in pig's skins. Then they
burnt them and had their bodies polluted by Hindus. The
policy of distrust and vindictive repression towards
the muslims continued long after the rebellion had been
put down).
8 M.Mujeeb, The Indian Muslims, George Allen & Unwin
Ltd. Londoll, 1967, hal. 432: (the British had openly
declared their determination to destro- ail those
elements in the muslim population which could serve as
the nucleus of opposition, there was no other way of
recovery except by accepting British rule).