Selamat Datang Di Milis Resmi Saya Semoga Bermanfaat Bagi Kita Semua Hablun Minallah Wa Hablun Minannas Setiap Langkah Harus Dengan Arti, Setiap Langkah Harus Dengan Pikiran, Sebelum Melakukan Harus Hati-Hati, Kalau Jelas Itu Jelek/Buruk Dijauhi

ASURANSI


PT (Persero) Jamsostek memiliki peran vital sebagai pelindung bagi tenaga kerja dan sebagai salah satu  alat stabilisator baik secara makro dan mikro, dan berbagai bidang yang saling terkait erat, yaitu sosial, ekonomi, dan polkam. Efek stabilisasi ini makin kuat bila porsi dana terkumpul dibandingkan dengan GDP semakin besar. Dengan demikian adalah penting usaha untuk meningkatkan porsi relatif terhadap GDP yang sekarang ini baru 5%, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Adapun Filipina kini sudah mencapai 40% GDP, Malaysia 60% GDP, dan SIngapura 70% GDP.
Pemberlakuan otonomi daerah tidak boleh menjadikan PT (Persero) Jamsostek sebagai obyek pungutan baru di daerah, karena berbagai alasan. Pertama, PT (Persero) Jamsostek sudah menjadi wajib pajak badan dan menyetorkan dividen kepada Pemerintah, yang melalui APBN sudah didistribusikan ke daerah-daerah. Kedua, seharusnya Pemerintah Daerah menjadi fasilitator yang baik, karena dengan adanya PT (Persero) Jamsostek telah membantu melindungi tenaga kerja di daerahnya   sehingga ikut membantu menciptakan stabilisasi.
Kekuatan PT (Persero) Jamsostek terletak pada tingginya kebutuhan perusahaan dan pekerja serta adanya hak pungut berdasarkan UU No.3/1992 dan PP No.36/1995. Kelemahan PT (Persero) Jamsostek terletak pada status hukum badan sebagai BUMN dan ketergantungan pada regulator yang tinggi, terutama dalam hal law enforcement dan perbaikan benefit. Peluang PT (Persero) Jamsostek terletak pada pasar potensial yang masih demikian besar dari sektor formal. Nantinya setelah sektor formal telah habis, masih ada sektor informal yang memiliki jumlah pekerja jauh lebih banyak dari sektor formal. Ancaman yang ada bersumber dari tumpah tindihnya perangkat perundang-undangan UU No.3/1992 dengan peraturan pelaksanaan di bawahnya, PP No.14/1993. Hal ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara sesama BUMN dalam ruang lingkup asuransi.
Perlu dilakukan sosialisasi peran vital PT (Persero) Jamsostek ke daerah-daerah sehingga badan ini tidak menjadi obyek pungutan ganda. Pemerintah perlu mengkaji ulang peraturan pelaksanaan UU No.3/1992, yaitu PP No. 14/1993, karena dirasakan tidak sesuai dengan perangkat peraturan di atasnya. Dengan demikian tidak terjadi kompetisi yang tidak semestinya antara sesama BUMN yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan pesertanya.
Sistem jaminan sosial merupakan alat fiskal bagi pemerintah terhadap pemberi kerja yang dijadikan sebagai objek pungut melalui lembaga yang ditunjuk yakni PT (Persero) Jamsostek (Bambang Purwoko 1994, 118). Dalam gambaran ideal Bambang Purwoko, pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakan-kebijakan fiskal melalui berbagai instrumen fiskal, yaitu instrumen fiskal yang sudah umum (pajak dan bea cukai) dan instrumen lainnya, yakni jamsostek (lihat tabel).  Meskipun obyeknya berbeda tetapi ketiganya memiliki kesamaan dalam hal pemanfaatan, yaitu untuk redistribusi pendapatan.
Ada empat skema asuransi tenaga kerja yang ditawarkan oleh Jamsostek bagi manfaat pekerja, dan masing-masing memiliki besaran persentase potongan gaji yang berbeda-beda. Untuk program Jaminan Hari Tua (JHT) iuran sebesar 5,7% dari gaji karyawan bersangkutan dibebankan kepada perusahaan (3,7%)  dan pekerja sendiri (2%).  Program Jaminan Kesehatan (JKS) besar iuran variatif dengan rentang 3% hingga 6% dari gaji karyawan yang dibebankan seluruhnya kepada perusahaan. Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)  juga dibebankan seluruhnya kepada perusahaan untuk mengiur dengan rentang antara 0,24% hingga 1,74% dari gaji karyawan. Untuk program Jaminan Kematian (JKM)  dibebankan seluruhnya kepada perusahaan dengan persentase 0,30%.
PT (Persero) Jamsostek)  memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan pemungutan iuran, yakni UU No. 3/1992 dan PP No. 15/1995. Hak pungut ini  bertemu dengan adanya kebutuhan perusahaan dan pekerja akan adanya asuransi sosial tenaga kerja. Di sinilah letak kekuatan PT (Persero) Jamsostek.
            Letak kelemahan PT (Persero) Jamsostek ada pada tiga hal : (i) kendala pendanaan, (ii) status hukum perusahaan, dan (iii) ketergantungan yang tinggi pada regulator.  Pemerintah masih dibatasi kendala pendanaan untuk mewujudkan konsep ideal jaminan sosial universal yang dibiayai oleh APBN dalam rangka pelaksanaan amanat UUD 1945 pasal 34 “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Secara ideal, sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara Eropa, sebagian dari pajak yang disetorkan ke APBN  disisihkan untuk program jaminan sosial bagi masyarakat. Di Indonesia hal ini menemui kendala karena masih belum optimalnya pemasukan pajak.
Status hukum BUMN bagi perusahaan merupakan permasalahan  bagi PT (Persero) Jamsostek dalam memberikan pengembalian manfaat yang optimum bagi pekerja. Indonesia dan Cina adalah salah satu dari sedikit negara yang memberikan badan hukum BUMN bagi institusi penyelenggara jaminan sosialnya, suatu hal yang ditinggalkan oleh negara-negara lainnya. Program jaminan sosial merupakan program publik yang diwajibkan oleh UU di mana iuran dan investasi yang dikumpulkan bukanlah merupakan pendapatan, melainkan utang institusi penyelenggara yang harus dikembalikan kepada peserta. Dikatakan sebelumnya merupakan program publik yang diwajibkan karena sistem jaminan sosial merupakan salah satu program welfare state yang hanya memberikan benefit standar minimum, suatu hal yang berbeda dengan yang ditawarkan oleh asuransi komersial. 
            Dalam penyelenggaraan jamsostek, PT (Persero) Jamsostek) juga menghadapi masalah akibat ketergantungan yang besar pada pihak regulator, terutama dalam hal law enforcement dan perbaikan benefit. Dalam penyelenggaraan jaminan sosial di banyak negara, badan penyelenggara melakukan law enforcement sendiri sehingga dapat melakukan akses langsung ke perusahaan-perusahaan. Jadi Departemen Teknis terkait yakni Depnaker semestinya dikembalikan fungsinya sebagai ‘wasit’ dan regulator yang baik dalam penyelenggaraan jamsostek. Sebagai contoh, kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan adanya ketidaktaatan dari para perusahaan untuk mengikuti perintah UU No. 3/1992,seperti pelaporan jumlah pegawai dan gaji yang menyimpang dari jumlah semestinya, yang sulit  untuk ditindak  secara tegas oleh badan penyelenggara karena wewenang untuk menindak  dimiliki Depnaker. Kadang aparat Depnakaer yang mestinya menjadi ‘wasit’ yang baik justru makin memperkeruh situasi ini.
            Dari segi peluang PT (Persero) Jamsostek, jumlah kepesertaan dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja di sektor formal, yang memang selama ini menjadi target pasar penyelenggaraan PT. Jamsostek. Pertambahan kepesertaan terasa berjalan tersendat-sendat dan target pasar potensial dari sektor formal saja masih 8,12 juta (tahun 2000). Peluang pasar yang ada sangat besar  apalagi bila juga masuk ke lingkup sektor informal dengan jumlah pekerja sektor informal ini yang sangat besar, sebanyak 62,35 juta orang.  Adanya prinsip “law of big number“ mengharuskan tercapainya angka kepesertaan dalam jumlah besar, sehingga selayaknya badan ini dibantu agar dapat berkonsentrasi melakukan perannya sebagai  agen pembangunan.
Ancaman yang dihadapi oleh PT (Persero) Jamsostek timbul dari sikap pemerintah yang dirasakan kurang tegas atau mengabaikan kekacauan yang terjadi.    Antara sesama BUMN penyelenggara asuransi sosial dibiarkan terjadi kompetisi  yang sebenarnya tidak dapat dibenarkan. Penyimpangan dari konsep ideal ini diperparah dengan dimungkinkannya penyelenggaraan oleh lebih dari satu BUMN oleh UU No. 3/1992. Di Malaysia sendiri yang memiliki dua badan penyelenggara, EPF dan SOSCO, sudah timbul pemikiran untuk melebur saja  kedua badan itu menjadi satu.  Tidak adanya sikap yang tegas dari pemerintah (yang mengesankan ambivalensi sikap pemerintah), dan dorongan untuk mencetak laba sebanyak mungkin bagi BUMN menyebabkan lahirnya praktek penawaran paket asuransi kesehatan oleh PT. Askes kepada perusahaan-perusahaan swasta yang memberatkan penyelenggaran jamsostek.  Hal ini timbul karena adanya tumpang tindih antara UU No.3/1992 yang mewajibkan perusahaan menjadi anggota jamsostek, dan PP No. 14/1993  pasal 2 ayat 4 yang membolehkan perusahaan untuk tidak mengikuti program jaminan kesehatan dasar bila sudah menyelenggarakan sendiri program jaminan pemeliharaan kesehatan yang lebih baik. Seharusnya ditarik garis yang tegas antara paket jaminan kesehatan minimum yang diselenggarakan oleh badan penyelenggara jamsostek (yaitu PT (Persero) Jamsostek) dan paket asuransi kesehatan plus yang boleh ditawarkan oleh swasta atau PT Askes yang dalam hal ini berlaku sebagai perusahaan swasta, sehingga kedua jenis paket ini tidak perlu dan tidak bisa dicampuradukkan.
Dengan melihat catatan Return on Investment yang menunjukkan grafik yang menanjak dapat dikatakan secara optimis bahwa kelangsungan badan penyelenggara jamsostek ini tanpa membebani anggaran negara dapat terus bertahan dan akan terus membaik seiring dengan adanya kemauan untuk memperbaiki kondisi internal dan eksternal perusahaan (lihat bab III). Bila dibandingkan dengan ketiga BUMN lain di bidang asuransi, yaitu PT(Persero) ASKES, ASABRI, dan TASPEN, jelas catatan prestasi keuangan di atas lebih baik. Namun bila dibandingkan dengan tingkat suku bunga deposito pada waktu itu yang cukup tinggi, mesti diakui bahwa ROI di atas tidaklah istimewa.
Kondisi keuangan yang terus membaik tergambar dari rasio klaim/premi yang menurun, dari saat puncak krisis tahun 1998 sebesar 85,35%,  turun menjadi 75,01% pada tahun 1999,  kembali turun menjadi 60,69% pada tahun 2000,  dan hingga pertengahan tahun 2001 seiring dengan berkurangnya jumlah PHK massal dan penyesuaian terhadap kondisi ekonomi  yang ada rasio ini mampu mencapai 50,61%. Besar harapan bakalan makin besar laba kotor yang berhasil diraih dari surplus premi terhadap klaim terutama yang berasal dari paket-paket jaminan selain JHT.
Sedangkan Asuransi Komersial, benefit value bersifat on top yang dibedakan dengan umur, kepesertaannya berdasarkan kontrak dan sukarela, produk yang ditawarkan bukan merupakan hak masyarakat semata dan terbatas bagi yang berpendapatan tinggi.
Sementara itu, pakar sistem jaminan sosial, Bambang Purwoko, SE, MA, PhD, mengatakan, ada perbedaan yang prinsip antara perlakuan Asuransi sosial dan pelaksanaan Asuransi Komersial. Pertama, dalam sistem Asuransisosial pemungutan iuran dilakukan dibelakang, namun demikian hak kepada peserta dapat dipenuhi dimuka. Sedangkan pada Asuransi Komersial pembayaran premi dilakukan dimuka.
Kedua, akumulasi iuran dalam sistem Asuransi sosial terikat dengan pembagian risiko yang dalam hal ini sebagai penopang unsur gotong royong. Sedangkan bagi Asuransi Komersial, premi yang terkumpul hanya berlaku bagi yang bersangkutan jika timbul risiko di kemudian hari.
Ketiga, sifat kepesertaan dalam sistem Asuransi sosial merupakan kolektif dan terbuka secara terus menerus, sehingga kesinambungan sangat tergantung dari generasi berikutnya. Sedangkan pada Asuransi Komersial lebih didasarkan pada kontrak secara individual.
Keempat, dalam sistem Asuransi sosial pemupukan cadangan teknis (dari iuran jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan pemeliharaan kesehatan) merupakan kewajiban bagi penyelenggara yang penggunaannya terikat dengan pemenuhan kebutuhan jangka panjang dalam arti, jika terjadi defisit di kemudian hari, karena berkurangnya kepesertaan baru.
Sementara itu, pada Asuransi Komersial cadangan teknis hanya dipergunakan sesaat dalam arti berlaku tahun berjalan dan pada akhir tahun jika terjadi sesuatu risiko, maka dapat merupakan surplus bagi penyelenggara.
Menurut Bambang, maka penyelenggara program Jamsostek yang merupakan sistem Asuransi sosial tidak dapat diberlakukan alternatif penyelenggaraan. Jika alternatif penyelenggaraan lebih dari satu, akan berdampak negatif bagi pemenuhan unsur gotong royong, sehingga yang dirugikan masyarakat, khususnya pekerja.
Tak Bertentangan Bambang Purwoko mengatakan, meski penyelenggara Jamsostek di Indonesia kini hanya satu BUMN, yakni PT Jamsostek (Persero), tetapi karena sifat dan tujuannya berbeda dengan Asuransi Komersial, maka tidak bertentangan dengan UU No.5/1999, tentang praktik larangan monopoli, karena Jamsostek sebagai BUMN tidak memiliki produk lain yang berorientasi pada prospek pasar, melainkan menyelenggarakan perlindungan dasar yang menjadi hak pekerja.