Selamat Datang Di Milis Resmi Saya Semoga Bermanfaat Bagi Kita Semua Hablun Minallah Wa Hablun Minannas Setiap Langkah Harus Dengan Arti, Setiap Langkah Harus Dengan Pikiran, Sebelum Melakukan Harus Hati-Hati, Kalau Jelas Itu Jelek/Buruk Dijauhi

PEMIMPIN DARI LAHIR


Hiruk pikuk pemilihan presiden mulai dirasakan, tidak terkecuali pemilihan kepala daerah menambah gegap gempita suasana. Iklan bermunculan di media cetak dan elektronik untuk meraih simpati  masyarakat. Kandidat dengan media komunikasi yang ada mengiklankan diri sebagai calon-calon pemimpin masa depan. Calon-calon pemimpin tersebut memiliki latar belakang politik, ormas, budaya, dan tradisi berbeda, tapi yang jelas mereka memiliki persamaan, sama-sama pernah dibesarkan dalam rahim pendidikan. Calon-calon pemimpin tersebut merupakan produk pendidikan.
Pemimpin bangsa pendahulu kita juga merupakan produk pendidikan pada masanya. Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Sukarno dan pemimpin bangsa pada saat itu merupakan produk pendidikan masa  kolonial-Belanda. Mereka merupakan generasi yang lahir mendahului negara Indonesia, saat pendidikan belum menyentuh level paling bawah rakyat. Anak-anak bangsa itu tumbuh berkembang dan memperoleh “balas budi” dari penjajah. Belanda yang pada tahun 1867 mendirikan Eredienst en Nijvirheit yang khusus menangani pendidikan di Hindia Belanda (Indonesia waktu itu) memberikan kesempatan kaum pribumi menikmati pendidikan.
Pendidikan “barat” yang dinikmati kaum pribumi waktu itu tidak melunturkan semangat kecintaan tanah air, bahkan nasionalisme mereka mengeras saat membela kepentingan rakyat karena hak-haknya ditindas penjajah. Hatta tetap Hatta, sosok religius-sederhana, tidak tercerabut dari akar budaya, padahal pendidikan barat dienyam dari anak-anak sampai dewasa. Syahrir tetap Syahrir, sosok yang kukuh mempertahankan kepentingan rakyat banyak di atas segala-galanya. Tan Malaka, pemimpin revolusioner-sederhana yang tidak berpamrih dan rela terlunta-lunta untuk sebuah keyakinan. Soekarno merupakan sosok-tokoh yang kemudian mampu membangunkan rakyat dari mimpi kemerdekaan, bersama Hatta. Kelak dikemudian hari mereka menjadi pemimpin dengan integritas moral tinggi, tidak sekedar panggung nasional juga internasional.

Pendidikan dan Karakter Pemimpin
Memang tidak ada manusia sempurna, begitu pun para pemimpin. Manusiawi kekurangan dan ketidaksempurnaan hinggap pada setiap orang. Pendidikan menjalankan tugas sebagai mendewasakan manusia, mengurangi ketidaksempurnaannya. Produk pendidikan sebuah generasi dapat dijadikan cermin terbaik sebagai refleksi. Seperti yang terjadi masa kolonial, bahwa pendidikan yang dikelola penjajah menghasilkan sosok-sosok yang mampu mengatasi kepentingan individu-kelompok demi kepentingan bangsa. Padahal manusia adalah produk pendidikan zamannya.
Karakter kepemimpinan (kolektif) dari produk pendidikan berbeda tiap zamannya. Generasi orde baru kebanyakan mengenyam pendidikan di bawah sistem pendidikan Nasional-Indonesia. Bandingkanlah kualitas kepemimpinan (kolektif) generasi orde baru dengan pemimpin masa awal kemerdekaan. Masa orde baru semangat menjadikan kepentingan bangsa-negara tenggelam oleh kepentingan individu dan kelompok. Moralitas menjadi barang remeh temeh; korupsi, jual beli perkara hukum, sementara rakyat hanya dijadikan alat politik semata-mata. Pada level ini pendidikan tidak berhasil membangun dan merekonstruksi moralitas anak bangsa. Pemimpin hanya contoh kecil bagaimana moralitas hancur dan telanjang di depan mata tanpa mampu dicegah.
Lalu bagaimana dengan kualitas moral pemimpin masa reformasi sekarang? Kita akan melacaknya dari proses kelahiran reformasi. Kelahiran reformasi yang berdarah-darah (korban pembunuhan, penembakan, penculikan dan aneka penindasan yang tidak manusiawi) dapat dipastikan terdapat sistem dan mekanisme kepemimpinan yang salah. Diakui atau tidak reformasi merupakan pendongkelan struktur kepemipinan koruptif, kolusif, dan nepotis.
Orde reformasi tidak mampu melepaskan diri dari jerat sejarah kelam orde baru. Angka korupsi semakin banyak terkuak, bahkan merembes sampai daerah. Kepemimpinan orde reformasi dan orde baru setali tiga uang. Rahim pendidikan yang melahirkan mereka sama sehingga produknya tidak jauh berbeda.
Apakah pendidikan yang notabene dikelola sendiri oleh bangsa-negara Indonesia tidak mampu membuahkan dan menanamkan moralitas terhadap peserta didik? Padahal peserta didik itulah yang kelak akan memimpin. Pendidikan seharusnya mampu memberikan bekal kepada peserta didik untuk teguh pada prinsip dan menjadikan moralitas tidak sekedar berwujud kata-kata tapi dilaksanakan (praksis pendidikan). Kehidupan dan pribadi sedehana jauh dari gemerlap tercermin dari para pemimpin terdahulu dan sulit dijumpai sekarang.

Moralitas Pemimpin dan Pendidikan
Moralitas yang dipertontonkan dan diiklankan terasa sedap untuk dtonton, tapi tidak sepahit kenyataannya. Disudut-sudut kota-desa, bilik-bilik sekolah, dan jalan-jalan desa-kota banyak dipertontonkan bagaimana moralitas sekedar omomng kosong. Pemimpin dalam skala apa dan bagaimanapun punya sumbangsih terhadap persoalan moralitas ini. Pendidikan yang hanya  mampu menjadikan budi pekerti, moralitas, dan agama sebagai pajangan saja, verbalisme. Tahu dan diucapkan-dibicarakan tapi tidak untuk dilaksanakan.
Lalu apakah sistem pendidikan Indonesia sekarang perlu ditransformasikan kembali dengan sistem pendidikan kolonial pada waktu itu? Sebab jika tidak diselamatkan, pendidikan ini akan banyak melahirkan pemimpin baru yang senang menjagal rakyat, korup dan kehancuran moralitas.
 Ada beberapa yang kiranya patut dilakukan pendidikan Indonesia untuk melahirkan peserta didik dan calon-calon pemimpin yang tidak sekedar memikirkan diri dan kelompoknya, tapi yang memiliki pemahaman terhadap kepentingan orang lain, kelompok lain, menjadikan kepentingan bangsa-negara sebagai kekuatan penyelesaian masalah. Pada gilirannya rahim pendidikan dapat melahirkan pemimpin yang memiliki seperangkat pengetahuan nilai-nilai kemanusiaan.
Pertama, memperkuat-memperketat sistem kurikulum pendidikan. Kurikulum yang selama ini dilaksanakan cenderung longgar dan sering dilangkahi oleh pelaksana pendidikan, misal; jual beli gelar, penjenjangan yang tidak sistematis dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, dan tidak terjaganya mutu. Hal berbeda terjadi saat pendidikan masa kolonial; penyusunan kelas, isi rencana pelajaran, murid-murid, tenaga guru dan tujuan pendidikan dirumuskan dengan baik, walaupun semua itu demi kepentingan penjajah.
Kedua, pengawasan dan tindakan terhadap malapraktek pendidikan. Aktivitas malapraktek dapat terjadi dalam bilik-bilik kelas maupun kebijakan yang tidak mencerminkan nilai-nilai hakiki manusia. Peserta didik akan mendapatkan nilai-nilai positif dari tindakan ini, tidak seperti sekarang nilai-nilai yang diajarkan di kelas susah menemukan tuntunannya di masyarakat. Kelak pemimpin baru yang lahir dari pendidikan yang disiplin memiliki perangkat pemahaman lebih baik. Ketiga, menjadikan pendidikan sebagai gerbang moral bangsa-negara Indonesia, selain keluarga dan masyarakat.
Melakukan perubahan arah dan sistem pendidikan tidak mudah. Perubahan sering menjadikan sakit hati. Karena perubahan berarti menggantikan kesenangan dan kebiasaan baru yang kadang tidak sesuai dengan kehendak. Filsuf Kant mengaskan bahwa “keharusan mengandaikan kebisaan”. Bagaimana dapat melahirkan pemimpin dari rahim pendidikan yang bermoral bersih jika sistem pendidikannya tidak bisa berbuat banyak?
Melakukan ketiga hal di atas paling tidak akan sedikit mengikis habis perilaku amoral. Pendidikan masih diyakini sebagai salah satu terapi yang paling baik untuk meluruskan kembali moralitas bangsa dan pemimpinnya, diantara pilihan-pilihan lainnya. Bayangan untuk kembali ke sisitem pendidikan kolonial sehingga tidak ada. Toh, merdeka lebih baik daripada di jajah.