Selamat Datang Di Milis Resmi Saya Semoga Bermanfaat Bagi Kita Semua Hablun Minallah Wa Hablun Minannas Setiap Langkah Harus Dengan Arti, Setiap Langkah Harus Dengan Pikiran, Sebelum Melakukan Harus Hati-Hati, Kalau Jelas Itu Jelek/Buruk Dijauhi

Hubungan Jenis Leukosit Dengan Kejadian Tuberculosis di BBKPM Makassar Tahun 2010


 Hubungan Jenis Leukosit Dengan Kejadian Tuberculosis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar Tahun 2010 Oleh Kusnadi S. Hidayat S.KM

 1.  Limfosit Hubungannya dengan Kejadian Tuberculosis
Sel makrofag aktif akan mengalami perubahan metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu memproduksi zat yang dapat membunuh hasil, zat yang terpenting adalah hidrogen peroksida (H2O2). Mikobakterium tuberculosis mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melidunginya terhadap pengaruh luar yang merusak dan juga mengaktifkan sistim imunitas. (Amaylia Oehadian, 2003).
Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sedangkan sistim imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan responnya. Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai daya proteksi melalui suatu mekanisme pertahanan paru, berupa sistim pertahanan tubuh yang spesifik maupun nonspesifik. (Fatmah, 2006).
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa dari 44 jumlah limfosit yang tidak normal terdapat tuberculosis paru sebanyak 59,1 %, dan dari 109 jumlah limfosit yang normal terdapat tuberculosis paru sebanyak 10,1%.
Hasil uji statistik diperoleh nilaiX² hitung (41,048) > X² tabel (3,841), dan nilai p 0,000 < 0,05. Hal ini berarti jumlah limfosit berhubungan dengan kejadian tuberculosis.
Mikobakterium tuberculosis yang jumlahnya banyak dalam tubuh menyebabkan penglepasan komponen toksik kuman ke dalam jaringan Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang meningkat terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, perkejuan dan penyebaran kuman lebih lanjut. Akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyak akan muncul menimbulkan anergik dan prognosis jelek. Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makrofag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh kuman. (Amaylia Oehadian, 2003).
Makrofag aktif melepaskan interleukin-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan interleukin-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang komplek dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang mengubah produksi sel B, sel T aksi-aksi mediatornya. (Hadi Sudrajad, 2006).
Mekanisme makrofag aktif membunuh hasil tuberkulosis masih belum jelas, salah satu adalah melalui oksidasi dan pembentukan peroksida. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan ipohalida sehingga terjadi kerusakan membran sel dan dinding sel, lalu bersama enzim lisozim atau medoator, metabolit oksigen membunuh hasil tuberkulosis. Beberapa hasil tuberkulosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag, dengan demikian hasil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag lain. (Fatmah, 2006).
2.  Neutrofil Hubungannya dengan Kejadian Tuberculosis.
Sel neutrofil terdapat lebih dari seperdua jumlah sel darah putih di sirkulasi dan mempunyai nukleus multilobus dengan granula sitoplasma. Granulanya mengandung bermacam enzim, seperti protein dan glikosaminoglikan yang berperan pada fungsi sel. Neutrofil sangat diperlukan untuk pertahanan tubuh sebagai fagosit dan proses pemusnahan patogen di jaringan. (Zena W,  2001).
Neutrofil dari sumsum tulang (berdiameter 7-7,5 μm dan dapat melewati pori-pori kecil dinding endotel (diameter l-3 μm), diperkirakan pasti terjadi deformasi sel untuk dapat melewati pori-pori. Faktor stimulasi koloni (colony stimulating factor = CSF) merangsang sel neutrofil keluar dari sumsum tulang. Faktor lain yang juga dapat mengeluarkan neutrofil dari sumsum tulang adalah tekanan hidrostatik sumsum tulang. (Judarwanto, Widodo, 2007).
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 jumlah neutrofil yang tidak normal terdapat tuberculosis paru sebanyak 52,5 %, dan dari 113 jumlah neutrofil yang normal terdapat tuberculosis paru sebanyak 14,2 %.
Hasil uji statistik diperoleh nilaiX² hitung (23,686) > X² tabel (3,841), dan nilai p 0,000 < 0,05. Hal ini berarti jumlah neutrofil berhubungan dengan kejadian tuberculosis.
Jumlah neutrofil dipengaruhi oleh beberapa faktor patofisiologik seperti infeksi, stres, hormon, CSF, faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor = TNF), CSF, IL-1, IL-3. Endotoksin meningkatkan produksi neutrofil dari sumsum tulang, walaupun efeknya diperankan oleh IL-1 dan TNF dari monosit atau makrofag yang terstimulasi. Cara menghilangnya neutrofil dari sirkulasi belum diketahui dengan jelas. Tetapi perpindahan sel ini ke lokasi inflamasi akan menyebabkan neutrofil sirkulasi menghilang karena sekali ia berada di jaringan inflamasi tidak akan kembali ke sirkulasi. (Kusnadi, SH, 2006).
Pemusnahan neutrofil melalui kelenjar limfe tidak penting. Diperkirakan organ sistem retikuloendotelial seperti hati dan limpa merupakan tempat pemusnahan neutrofil tua dan neutrofil yang menjadi tua dari sirkulasi. Neutrofil yang turut dalam proses inflamasi akan dilenyapkan oleh makrofag. Pada sebagian besar proses inflamasi, makrofag akan mengikuti influks sel neutrofil dan kemudian akan memakan sel neutrofil tua, sedang pada tempat infeksi terjadi lisis neutrofil oleh aksi toksin yang dihasilkan bakteri.  (Zena W,  2001).
Neutrofil ditemukan pada 20 % penderita  tuberculosis dengan infiltrasi ke sumsum tulang. Neutrofil disebabkan karena reaksi imunologis dengan mediator sel limfosit T dan membaik setelah pengobatan. Neutrofil pada umumnya berhubungan dengan penyebaran lokal akut seperti pada penderita tuberculosis atau pecahnya fokus perkejuan pada bronkhus atau rongga pleura. Pada infeksi tuberculosis yang berat atau tuberculosis milier, dapat ditemukan peningkatan jumlah neutrofil dengan pergeseran ke kiri dan granula toksik (reaksi lekemoid).  Pada tuberkulosis diseminata  dengan keterlibatan limpa dan kelenjar getah bening dapat terjadi reaksi lekemoid yang menyerupai lekemi mieloblastik akut. (Amaylia Oehadian, 2003).

3.  Eosinofil Hubungannya dengan Kejadian Tuberculosis.
Eosinofil melakukan fungsinya di jaringan dan tidak akan kembali ke sirkulasi, serta akan dieliminasi melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Dalam proses pematangannya terjadi perubahan granula azurofilik ke bentuk granula sitoplasmik besar yang memnpunyai struktur kristaloid. (Hadi Sudrajad, 2006).
Granula eosinofil tidak berisi lisozim dan fagositin seperti pada neutrofil, tetapi kaya akan asam fosfatase dan peroksidase. Terdapat eosinophilic basic protein (EBP) pada inti kristalin, dengan ukuran 11.000 Dalton yang sangat toksik Walaupun sel ini dapat memfagosit bermacam partikel, mikroorganisme atau kompleks antigen-antibodi terlarut, tetapi kurang efisien dibandingkan neutrofil. Sampai sekarang peran spesifik sel ini belum diketahui, kecuali ada hubungannya dengan alergi seperti batuk misalnya yang disebabkan oleh kuman mikobacterium. (Judarwanto, Widodo. 2007).
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 42 jumlah eosinofil yang tidak normal terdapat tuberculosis paru sebanyak 69 %, dan dari 111 jumlah eosinofil yang normal terdapat tuberculosis paru sebanyak 7,2 %.
Hasil uji statistik diperoleh nilaiX² hitung (63,555) > X² tabel (3,841), dan nilai p 0,000 < 0,05. Hal ini berarti jumlah eosinofil berhubungan dengan kejadian tuberculosis.
Tuberculosis dapat menimbulkan sindroma PIE (Pulmonary Infil tration with Eosinophilia) yang ditandai dengan adanya batuk, sesak, demam, berkeringat, malaise dan eosinofili. (Amaylia Oehadian, 2003).
Eosinofil secara khusus dapat ditemukan di tempat radang sekitar terjadinya infeksi bakteri atau bagian reaksi imun yang diperantarai oleh IgE yang berkaitan khusus dengan alergi. Kedatangan eosinofi dikendalikan oleh molekul adhesi yang sama seperti yang digunakan oleh neutrofil dan juga kemokin eotaksin yang dihasilkan oleh sel leukosit atau sel epitel. Granula eosinofil mengandung suatu protein disebut MBP (major basic protein), yaitu suatu protein kationik bermuatan besar dan bersifat toksik terhadap bakteri. (Misnadiarly. 2006)
Adapun sel mast merupakan sel yang tersebar luas dalam jaringan ikat dan dilengkapi oleh IgE terhadap antigen tertentu. Apabila terpajang dengan antigen tersebut, maka sel mast akan mengeluarkan histamin dan produk asam arakhidonat yang menyebabkan perubahan vaskular pada radang akut. Sel mast juga dapat mengelaborasi sitokin seperti TNF yang berperan pada respons kronik yang lebih besar. (Nugroho.L.Hartanto & Sumardi Issirep. 2004).
Eosinofil selain untuk eliminasi kompleks imun, ia juga berperan dalam menghambat proses inflamasi dengan menghambat efek mediator, misalnya aril sulftase B yang dihasilkan sel eosinofil akan menginaktifkan SRS-A yang dilepaskan sel mast. Eosinofil berperan juga pada reaksi antibody mediated cytotoxity dalam memusnahkan benda asing atau bakteri. (Zena W. 2001).