Selamat Datang Di Milis Resmi Saya Semoga Bermanfaat Bagi Kita Semua Hablun Minallah Wa Hablun Minannas Setiap Langkah Harus Dengan Arti, Setiap Langkah Harus Dengan Pikiran, Sebelum Melakukan Harus Hati-Hati, Kalau Jelas Itu Jelek/Buruk Dijauhi

ATEIS


Tentang Ateis, Non-Teis, dan Agnostik
Memang perbedaannya halus dan hampir tak dapat dibedakan. Mari kita definisikan dulu:

(1) ateis = "menolak paham Tuhan"
(2) nonteis = "tidak menganut paham Tuhan"
(3) agnostik = "tidak mengambil sikap, atau bersikap bahwa ada atau tidak adanya         Tuhan tidak mungkin diketahui"

(1) Dalam sejarahnya 'ateisme' berkembang di Barat mulai zaman pencerahan (Aufklarung sampai sekarang, ketika secara intelektual orang menolak ajaran teisme dari gereja Kristen. Jadi 'ateisme' adalah suatu reaksi terhadap 'teisme'. 'Ateisme' tidak dapat dipahami tanpa mengacu kepada 'teisme'. Maka, seseorang yang mengkaji 'teisme', kemudian menolaknya, disebut 'ateis'.

(2) Untuk menjelaskan istilah 'nonteisme', marilah saya ambil suatu contoh:
misalkan saya hidup dari kecil sampai tua di sebuah desa terpencil di Thailand, di mana agama masyarakat adalah Buddhisme Theravada, yang tidak mengenal konsep Tuhan Pencipta sama sekali. Di situ tidak pernah ada mubaligh Islam atau misionaris Kristen. Dapatkah paham spiritualitas saya disebut 'ateistik', menurut definisi dan penjelasan no.1 ? Saya rasa tidak, karena sejak kecil sampai dewasa saya tidak pernah diajar dan mengenal paham Tuhan.
Nah, untuk membedakan kondisi (2) dari kondisi (1), maka Helmuth von Glassenap memberi judul bukunya: "Buddhism, a Non-Theistic Religion".

Memang, kalau--setelah menganut paham Buddhisme yg nonteistik--kemudian saya mempelajari agama-agama monoteistik, dan membandingkan paham yang saya anut dengan paham monoteisme itu, maka saya sah saja mengatakan bahwa "Buddhisme adalah ateistik". Di sini 'nonteisme' saya telah menjadi sinonim dengan 'ateisme'. Namun, epistemologinya (dari mana asalnya) berbeda : 'nonteisme' bukan dimulai sebagai reaksi terhadap 'teisme', melainkan "dari sononya" sudah tidak mengenal konsep Tuhan; sedangkan 'ateisme'secara historis merupakan reaksi terhadap 'teisme'.

(3) berbeda dengan (1) dan (2) yang bersifat substantif, maka 'agnostisisme' lebih bersifat epistemologis. Di sini disikapi bahwa "ada atau tidak adanya Tuhan tidak dapat dipastikan". Saya dapat menyetujui 'agnostisisme' selama orang berada dalam wacana intelektual. Namun, kalau orang masuk ke dalam tingkat kesadaran mistikal, maka orang bisa mengalami hakikat eksistensi/realitas yang oleh agama-agama di sebut "Tuhan"; sekalipun kalau dicoba pahami secara intelektual orang akan terjebak kembali kepada tafsiran-tafsiran yang conditioned dan berbeda-beda satu sama lain.