2.1 Pendidikan seks
Seksualitas merupakan sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus sejak seorang bayi lahir sampai meninggal; sebuah proses yang memperlihatkan hubungan yang erat antara aspek fisik (sistem reproduksi) dengan aspek psikis dan sosial yang muncul dalam bentuk perilaku; serta merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Pengertian dari Myles tersebut menunjukkan bahwa dimensi seksualitas sangatlah luas meliputi bukan saja dimensi fisik namun juga psikis dan sosial. Namun, saat ini telah terjadi pereduksian makna, seksualitas disempitkan hanya pada aspek fisik-hubungan seks. Akibatnya seksualitas menjadi tabu dibicarakan terutama di dalam keluarga. Seksualitas cenderung tidak diakui sebagai sesuatu yang alamiah dan hanya sah dibicarakan dalam lembaga perkawinan (Myles, dkk, 1993)
Pendidikan seks merupakan sebuah diskusi yang realistis, jujur dan terbuka bukan merupakan dikte moral belaka. Dalam pendidikan seks diberikan pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif yang tepat, berhubungan dengan selfesteem (rasa penghargaan terhadap diri), penamaan rasa percaya diri difokuskan pada peningkatan kemampuan dan mengambil keputusan (Pratiwi, 2004).
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Pendidikan seks adalah suatu pengetahuan mengenai seksualitas remaja yang diberikan secara lengkap dan terbuka sehingga remaja dapat berperilaku seksual yang baik (Sarwono, 1989 dalam Fitria, 2004).
2.2 Pendidikan Seks Sejak Dini
Secara umum pendidikan seks sejak dini adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Sarlito, 1994).
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa, penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak. Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan sangatlah besar.
2.3 Pedoman untuk Pendidikan Seks
Untuk kawin ia sekarang sudah bukan kanak-kanak lagi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002).
Masa remaja dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Awal (usia 10 sampai 13 tahun).
2. Pertengahan (usia 14 – 16 tahun).
3. Akhir (usia 17 – 20 tahun dan sesudahnya) (Nelson dkk, 2000)
1. Awal (usia 10 sampai 13 tahun).
2. Pertengahan (usia 14 – 16 tahun).
3. Akhir (usia 17 – 20 tahun dan sesudahnya) (Nelson dkk, 2000)
2.4 Ciri-Ciri Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja tersebut antara lain:
1. Masa remaja sebagai periode penting, karena terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, terjadi perubahan emosi tubuh, minat dan peran, perubahan nilai-nilai dan tanggung jawab.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah, karena kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah dan karena remaja merasa sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk mencari siapa diri, apa perannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, anggapan sterotipe budaya yang bersifat negatif terhadap remaja, mengakibatkan orang dewasa tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, remaja melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang mereka inginkan.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa, remaja berperilaku yang dihubungkan dengan status dewasa seperti merokok, minum-minuman keras, obat-obatan dan terlibat seks, agar mereka memperoleh citra yang mereka inginkan (Hurlock, 1996)
2.5 Tahap Perkembangan Remaja
Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasa, ada tiga tahap perkembangan remaja, yaitu:
1. Remaja Awal (early adolescence) Pada tahap ini remaja masih terheran-heran pada perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan itu, tertarik pada lawan jenis, mudah terangsang secara erotis dan berkurangnya kendali terhadap ego.
2. Remaja Madya (middle adolescence) Pada tahap ini remaja membutuhkan kawan–kawan, ada kecenderungan “narcistic” atau mencintai diri sendiri.
3. Remaja Akhir (late adolescence) Pada tahap ini remaja mengalami konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian:
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi–fungsi intelek.
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman–pengalaman baru.
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d. Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain.
e. Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum (Sarwono, 1989).
2.6 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat di amati lengsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. “Skiner” seorang ahli Perilaku mengemukakan bahwa Perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan respons dan Skiner menyebutkan Perilaku akan terbentuk melalui prosedur sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat reinforcer berupa hadiah-hadiah untuk rewards bagi Perilaku yang akan dibentuk.
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk Perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut di susun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya Perilaku yang dimaksud.
3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut (Notoatmodjo, 2003).
2.7 Komponen Perilaku
Perilaku adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Perilaku hidup sehat didefinisikan sebagai Perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan batasan ini, Perilaku sehat dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan atau health maintanance
Adalah Perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.
Adalah Perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan (health seeking behavior). Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan.
3. Perilaku hidup sehat lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatan lain. Dengan kata lain bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakat.
2.8 Perilaku Seksual
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat di amati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. ”Skiner” seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan respons dan Skiner menyebutkan perilaku akan terbentuk melalui prosedur sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat reinfocer berupa hadiah-hadiah untuk rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dihendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut di susun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.
3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut (Notoatmodjo, 2003)
Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan, hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan), kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua diberi hadiah (komponen pertama tidak diberi hadiah lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk dan komponen selanjutnya.
Sedangkan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Dalam hal ini, perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Dalam hal ini tingkah laku seksual diurutkan sebagai berikut:
1. Berkencan
2. Berpegangan tangan
3. Mencium pipi
4. Berpelukan
5. Mencium bibir
6. Memegang buah dada di atas baju
7. Memegang buah dada di balik baju
8. Memegang alat kelamin di atas baju
9. Memegang alat kelamin di bawah baju dan
10. Melakukan senggama (Sarwono, 2006).
2.9 Pola-Pola Perilaku Seksual Remaja
Pola-pola perilaku seksual pada remaja dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Masturbasi. Ada perbedaan persentase antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan tindakan masturbasi. Hampir 82% dari laki-laki usia 15 tahun melakukan masturbasi, sedangkan hanya 20% dari perempuan usia 15 tahun yang melakukan masturbasi. Perilaku masturbasi ini sendiri secara psikologis menimbulkan kontroversi perasaan antara perasaan "bersalah" dan perasaan "puas". Masturbasi itu sendiri bila dilakukan secara proporsional sebenarnya memiliki beberapa nilai positif, yaitu: melepaskan tekanan seksual yang menghimpit, merupakan eksperimen seksual yang sifatnya aman; untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam membuktikan kemampuan seksualnya; mengendalikan dorongan seksual yang tidak terkontrol; mengatasi rasa kesepian; dan memulihkan stress dan tekanan hidup.
2. Petting. Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual antar jenis kelamin dengan tanpa melakukan tindakan intercourse. Usia 15 tahun ditemukan bahwa 39 remaja perempuan melakukan petting, sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting.
3. Oral-genital seks. Tipe ini saat sekarang banyak dilakukan oleh remaja untuk menghindari terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual model oral-genital ini merupakan alternatif aktivitas seksual yang dianggap aman oleh remaja masa kini.
4. Sexual Intercourse. Ada dua perasaan yang saling bertentangan saat remaja pertama kali melakukan seksual intercourse. Pertama muncul perasaan nikmat, menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada sisi lain muncul perasaan cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan perasaan bersalah. Dari hasil penelitian tampak bahwa remaja laki-laki yang paling terbuka untuk menceritakan pengalaman intercoursenya dibandingkan dengan remaja perempuan. Sehingga dari data tampaknya frekuensi untuk melakukan hubungan seksual intercourse lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan.
5. Pengalaman Homoseksual. Adakalanya perilaku homoseksual bukan terjadi pada remaja yang orientasi seksualnya memang homo, namun beberapa kasus menunjukkan bahwa homoseksual dijadikan sebagai sarana latihan remaja untuk menyalurkan dorongan seksual yang sebenarnya di masa yang akan datang. Pada remaja yang memiliki orientasi seksual homo, biasanya sejak dini melakukan proses pencarian informasi mengenai kondisi yang menimpa dirinya. Informasi bisa diperoleh dari bacaan, sesama teman homo, atau justru sangat ketakutan dengan kondisi dirinya sehingga mencoba-coba melakukan hubungan seksual secara hetero. Tidak mudah bagi remaja jika ia mengetahui bahwa orientasi seksualnya bersifat hetero, sebab pada dirinya kemudian akan timbul konflik yang menyangkut nilai-nilai kultural mengenai hubungan antar jenis. Efek Aktifitas seksual. Ada bahaya personal dan sosial yang mengancam remaja bila melakukan aktivitas seksual secara salah. Bahaya tersebut adalah: terjangkitnya penyakit HIV/AIDS, kehamilan tidak dikehendaki, menjadi ayah atau ibu di usia sini.
(Eliyawati, 2004).